10 Hal yang Saya Pelajari Setelah Menikah dengan Orang Jepang
Anime, manga, dan drama Jepang sering kali menampilkan sekilas kehidupan sehari-hari keluarga di Jepang. Istri sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, suami sibuk bekerja, atau suami dan istri tidur di kamar terpisah. Meskipun perbedaan budaya sudah terlihat selama masa pacaran, tentu masih ada banyak hal yang baru dirasakan perbedaannya setelah menikah. Berikut adalah cerita pengalaman dari sudut pandang istri Taiwan tentang kehidupannya bersama dengan suami Jepang, dan dampak disparitas budaya yang dialaminya. Kira-kira apa saja perbedaan budaya tersebut? Mari kita simak!
This post may contain affiliate links. If you buy through them, we may earn a commission at no additional cost to you.
*Artikel ini ditulis dari sudut pandang seorang wanita Taiwan yang menikah dengan pria Jepang dan tinggal di Jepang.
1. Istri Bertanggung Jawab atas Pekerjaan Rumah
"Di Jepang, seorang istri bertanggung jawab atas sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Saya menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan urusan rumah."
"Saya menjadi lebih pekerja keras sejak datang ke Jepang! Mencuci pakaian, membersihkan rumah, memasak makan malam, membuang sampah. Saya melakukan semuanya."
"Suami saya membantu mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi saya harus membereskan semuanya lagi jika dia tidak melakukannya dengan benar. Jadi, sebagian besar masih saya juga yang mengerjakan."
"Dulu saya tidak pernah berkontribusi banyak dalam pekerjaan rumah tangga. Jadi, saya mungkin menebusnya di Jepang!"
Orang-orang yang tidak biasa merapikan rumah sebelumnya kemungkinan akan menjadi kebiasaan setelah menikah dengan orang Jepang. Itu karena di Jepang, istri diharapkan untuk tinggal di rumah dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Membersihkan rumah tiga kali seminggu sudah merupakan hal yang wajar. Beberapa orang bahkan melakukannya setiap hari! Sesibuk apa pun, ibu rumah tangga juga diharuskan untuk mengantar suaminya sampai ke pintu saat ia akan pergi bekerja.
Para suami di Jepang sering kali tidak terlalu membantu dalam mengurus pekerjaan rumah. Ini didasari dari pemikiran tradisional yang menilai bahwa istri mengurus rumah, suami mencari nafkah. Meskipun demikian, mereka tidak akan menolak permintaan sopan dari istri mereka, dan tidak sedikit pula yang bahkan mungkin menawarkan bantuan tanpa diminta. Memang, hal ini lebih jarang dilakukan dibandingkan suami-suami di negara lain. Sebagai contoh, di Taiwan, para suami sering mengemban tugas seperti membuang sampah dan tidak ribut saat istri mereka tidak sempurna dalam mengurus rumah tangga. Well, nobody is perfect. Di Taiwan, ada banyak pasangan yang saling membantu dengan membagi pekerjaan rumah - hal yang tidak lazim dilakukan oleh pasangan Jepang.
2. Istri Harus Pandai dan Selalu Memasak
Berbanding terbalik dengan para suami di Taiwan, orang Jepang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap keterampilan memasak istri mereka dan selalu mengharap dimasakkan makan malam setiap hari. Jika istri tidak pandai memasak, suami akan memintanya untuk belajar daripada memilih makan di luar. Kontras dengan Taiwan, makan di luar dianggap lebih murah sehingga tidak jarang para suami makan sendiri atau berdua dengan istri setelah pulang bekerja. Tidak pandai memasak juga bukan suatu masalah besar bagi mereka.
Tentu saja, ada alasan di balik tingginya ekspektasi ini. Mayoritas wanita Jepang biasanya bisa dan tahu cara memasak. Selain itu, karena biaya hidup di Jepang tinggi, para suami lebih memilih makan di rumah saat tidak menghadiri pertemuan atau berkumpul bersama kolega. Tuntutan membuat makan malam untuk keluarga mungkin bukan hal yang berat bagi ibu rumah tangga atau pekerja paruh waktu, tetapi bagi wanita karir yang bekerja purna waktu, memasak sepulang kerja jelas sangat melelahkan. Suami boleh membantu jika istri lembur, asalkan dibicarakan terlebih dulu.
Sisi positifnya, para suami di Jepang biasanya menghabiskan makanan yang dimasakkan untuk mereka sebagai rasa terima kasih atas usaha istri. Tidak seperti di Taiwan (begitu pula di Indonesia) yang cenderung menyisakan makanan. Mereka juga jarang mengatakan hal-hal yang mengecewakan istri, seperti "Aku tidak lapar!", "Aku belum mau makan!", atau "Saya tidak suka!". Suami Jepang juga tidak akan meninggalkan meja yang sudah terisi makanan, kecuali sakit. Jika mereka sibuk dengan pekerjaan kantor atau ada pertemuan bisnis sehingga tidak dapat makan di rumah, mereka pasti memberi tahu istri sebelumnya. Hal itu berkaitan dengan kebiasaan menunggu semua anggota keluarga hadir di meja makan sebelum menyantap makanan. Namun, kebiasaan ini sudah tidak terlalu diterapkan sekarang.
3. Istri di Jepang Kemungkinan Menjadi Ibu Rumah Tangga atau Bekerja Paruh Waktu
Zaman telah berubah, dan kini, lebih banyak wanita yang memutuskan untuk tetap berkarir setelah menikah. Akan tetapi, banyak pula wanita yang memilih bekerja paruh waktu atau sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Istri tidak diwajibkan bekerja di keluarga Jepang, kecuali mereka mau atau membutuhkan uang. Sama seperti di Indonesia, di Taiwan, suami-istri bekerja purna waktu adalah hal yang biasa.
4. Suami Jepang Cenderung Berkepribadian Kaku
Pria Taiwan umumnya lembut dan pengertian, berbeda dengan orang Jepang yang cenderung bersikap keras hati, tidak takut serta mempunyai standar yang tinggi terhadap istri mereka. Suami Jepang tidak suka istri yang bersikap manja dan keras kepala, dan mereka diharuskan memiliki sopan santun. Cara istri memanggil suaminya pun dinilai penting. Salah satu panggilan yang paling populer di Jepang adalah "あなた" (sayang) dan "OOさん" (OO san). Saat bertengkar, suami ingin istrinya tetap tenang dan membicarakan hal-hal bersama.
Berlawanan dengan hal itu, suami Taiwan relatif lebih perhatian, pengalah, dan menghormati keputusan istri mereka dalam hampir semua hal. Itulah sebabnya wanita Jepang yang berpacaran dengan pria Taiwan sering berkata bahwa "pria Taiwan benar-benar manis dan perhatian."
5. Para Suami di Jepang Lebih Jauh dari Orang Tua
Orang Jepang jarang mengunjungi orang tua mereka di akhir pekan. Mereka biasanya akan berkunjung saat Tahun Baru. Ada pula yang pulang 2-3 tahun sekali! Itu karena banyak yang meninggalkan kampung halaman dan pergi ke kota-kota besar seperti Tokyo setelah lulus untuk mencari nafkah. Mempertimbangkan jarak yang jauh dan biaya transportasi yang tinggi, mereka memutuskan untuk tidak pulang terlalu sering.
Artinya, kecuali pasangan tinggal bersama orang tua suami, istri akan sangat jarang berhubungan dengan keluarga suaminya. Apalagi mereka terkesan tidak tertarik untuk menelepon atau melihat keluarga mereka lebih sering. Para orang tua juga memilih untuk menjaga diri mereka sendiri agar tidak membebani anak-anak mereka, kecuali benar-benar diperlukan. Positifnya, masalah dengan mertua dapat terhindari. Hal ini jelas sangat berbeda dari Indonesia yang menyadari pentingnya hubungan keluarga, terutama kepada orang tua.
6. Istri Harus Membantu Pekerjaan Rumah Saat Mengunjungi Keluarga Suaminya
Melewatkan kunjungan ke keluarga suami saat Tahun Baru bukanlah pilihan bagi para istri. Tidak peduli seberapa enggan mereka berinteraksi dengan mertua, menemani suami kembali ke kampung halaman adalah etika yang harus dijalani. Selama berkunjung, istri di rumah tangga Jepang tidak boleh menganggap diri mereka sebagai tamu, dan sudah menjadi aturan tidak tertulis untuk membantu menyiapkan hidangan perayaan dan mengerjakan pekerjaan rumah.
"Sulit untuk bisa bersantai di rumah keluarga suami saya. Dia menghabiskan Tahun Baru bersama keluarganya, sedangkan saya harus melakukan pekerjaan rumah."
Di Taiwan, para istri juga ikut membantu memasak dan beres-beres di rumah mertua. Namun, mereka tetap bisa merasakan kesenangan, bersantai, atau makan di luar. Di sisi lain, istri yang mondar-mandir di ruang tamu keluarga suami Jepang dipandang tidak baik.
7. Istri Diharuskan Mendukung dan Melayani Suami dengan Baik
Di Jepang, para suami selalu sibuk bekerja dan mengandalkan istri mereka untuk menangani segala macam hal dalam hidup. Misalnya, mempersiapkan kebutuhan untuk perayaan tradisional, mengatur tukar hadiah, dan ramah kepada teman-teman suami. Selain itu, keterampilan "membaca suasana" (空気読め) juga dinilai sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Istri harus menjaga hubungan baik dengan teman suami dan tetangga, serta harus berpenampilan sopan dan rapi. Hal ini khususnya berlaku untuk pasangan yang tinggal di Jepang karena orang-orang di negara tersebut sangat mempedulikan penilaian orang lain terhadap dirinya.
Di Taiwan, suami memang lebih pemaaf dan pengertian. Berbeda dengan Jepang yang begitu ketat dalam hal etika sosial. Istri dapat berperilaku lebih kasual. Contoh, mereka bisa mengobrol bersama teman dan menggunakan ponsel selama acara pertemuan. Namun, perilaku semacam ini dicap buruk di Jepang. Ketika suami sedang berbincang dengan teman-temannya, istri juga harus mendengarkan dan menunjukkan minat pada topik yang sedang dibicarakan. Setidaknya ditampilkan dari ekspresi, jika tidak, orang lain akan bertanya "Apakah semuanya baik-baik saja?", yang sebenarnya menyiratkan makna "Apakah Anda mendengarkan?". Pertanyaan seperti "Apa Anda sakit?" atau "Apa Anda bosan?" pun sering dilontarkan bila Anda tidak menyimak. Bahkan, meskipun sang istri sama sekali tidak tertarik, ia tetap harus menemani suami sampai selesai.
8. Para Suami di Jepang Biasanya Menghabiskan Hari Libur Bersama Keluarga
Menghabiskan waktu liburan bersama istri dan anak merupakan hal yang umum dilakukan oleh para suami/ayah di Jepang. Umumnya mereka pergi piknik atau bermain di taman. Oleh karena alasan itu pula Anda akan melihat banyak keluarga Jepang yang berpiknik dan menikmati berbagai hidangan di bawah pohon sakura selama musim semi. Bagi pasangan yang belum mempunyai anak, mereka memilih untuk pergi ke suatu tempat atau bersantai di rumah dan melakukan apa yang bisa dikerjakan. Singkatnya, orang Jepang mengutamakan waktu dengan keluarga (istri dan anak).
Di lain pihak, suami-suami di Taiwan cenderung jarang meluangkan waktu untuk keluarga dan sesekali menghabiskan liburan mereka dengan teman atau orang tua.
9. Ada Perbedaan Besar dalam Pola Pengasuhan Anak
Tanggung jawab mengasuh anak di Jepang sepenuhnya diserahkan kepada istri. Selain itu, sudah merupakan hal yang wajar bila suami istri tidur di kamar terpisah setelah bayi lahir agar tidak mengganggu suami saat terjadi keributan di tengah malam. Ini sering kali diinisiatifkan sendiri oleh sang istri. Tentu saja, beberapa keluarga masih memilih tetap tidur bersama dan ada suami yang juga membantu istri dalam mengurus anak.
Pola asuh anak di Jepang cukup unik. Mereka mengajarkan anak untuk peka, patuh, dan bertanggung jawab sejak usia kanak-kanak. Orang tua tidak akan memanjakan anak mereka. Bahkan, mereka membiarkan anak usia 3-4 tahun berjalan sendiri atau anak TK dan SD dibiarkan pergi ke sekolah sendirian. Bukan tanpa alasan, anak-anak di Jepang harus hidup mandiri karena kedua orang tua sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan dan masa depan anak. Orang tua juga jarang marah ketika anak membuat kesalahan, apalagi di depan umum. Mereka lebih suka membicarakan dengan kepala dingin, memberi tahu bahwa apa yang dilakukannya salah dan bagaimana memperbaiki kesalahan tersebut, berulang kali dan dengan sabar jika perlu. Itulah mengapa anak-anak di Jepang dikenal berperilaku baik. Anda mungkin jarang melihat mereka menangis, merengek, dan berteriak di kereta, restoran, atau taman bermain. Mereka juga tidak meminta digendong oleh orang tua atau naik kereta bayi.
Situasi seperti ini sangat berbeda di Taiwan. Para suami turut mengambil andil dalam merawat anak dan tetap tidur bersama dengan istri serta bayi mereka. Sisi negatifnya, pasangan di Taiwan cenderung memanjakan anak sehingga membuat mereka tidak bisa mandiri dan terus bergantung pada orang tua.
10. Hal yang Penting di Jepang Mungkin Dinilai Tidak Penting di Negara Lain
Meskipun budaya Jepang dan Taiwan memiliki banyak kesamaan, perbedaan pendidikan di sekolah dan keluarga menyebabkan tumbuhnya nilai-nilai yang kontras. Hal-hal yang dianggap "akal sehat" di negara Anda mungkin tidak berlaku di Jepang, dan perilaku istri yang biasa dilakukan di negara asal mungkin akan membuat suami Jepang kesal.
Berikut adalah contonya: Orang Taiwan pada umumnya berpikir bahwa memaafkan merupakan suatu kebaikan, dan tidak menyukai sikap yang terlalu banyak menuntut. Namun, suami Jepang mungkin tidak setuju. Sifat perfeksionis mereka mendorong mereka untuk mengejar tujuan yang lebih tinggi, apa yang salah harus diperbaiki, dan siapa pun yang melakukan kesalahan harus meminta maaf. Akibatnya, timbul masalah baru. Siapa yang memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar? Haruskah Anda menilai dari standar Jepang atau Taiwan? Jika suami Jepang menuntut istri untuk berperilaku layaknya orang Jepang, itu pasti sangat sulit. Semua istri yang dianggap hebat di negara asalnya dapat dinilai gagal di mata suami Jepang.
Kesimpulan
Tantangan yang dihadapi oleh pasangan beda negara tentu sangat banyak. Jika Anda tinggal jauh dari keluarga dan teman, berjuang sendiri bisa menjadi hal yang menyedihkan. Namun, dengan komunikasi dan tekad untuk beradaptasi di lingkungan baru, kebahagiaan pasti akan menghampiri Anda. Jadikan pengalaman di atas sebagai pelajaran dan jangan biarkan perbedaan menjadi penghalang kebahagiaan dengan pasangan Jepang Anda. Pada dasarnya, setiap pernikahan, baik beda negara ataupun tidak, memang membutuhkan komitmen dan usaha agar tetap langgeng sampai maut memisahkan.
Jika Anda ingin memberikan komentar pada salah satu artikel kami, memiliki ide untuk pembahasan yang ingin Anda baca, atau memiliki pertanyaan mengenai Jepang, hubungi kami di Facebook, Twitter, atau Instagram!
The information in this article is accurate at the time of publication.