Seperti Apa Berpacaran dengan Orang Jepang? Mengintip Budaya Kencan Jepang
Bagi sebagian orang yang sedang memadu kasih, tanggal 14 Februari adalah hari yang istimewa. Sama seperti di negara-negara Barat, kaula muda di Jepang juga menggunakan momen Valentine untuk memberikan cokelat kepada orang yang disukai, teman, atau orang yang dikagumi. Tanggal 14 Maret (dikenal sebagai "White Day") di Jepang pun sama pentingnya bagi mereka. Sebenarnya, berpacaran dengan orang Jepang tidak melulu manis dan romantis. Menurut survei online, perceraian pasangan internasional di Jepang mencapai 70%! Lalu, kira-kira apa saja hal yang mungkin membuat orang Jepang kesal? Bagaimana cara menghindari konflik? Di artikel ini, kami sudah merangkum pandangan unik orang Jepang tentang percintaan.
This post may contain affiliate links. If you buy through them, we may earn a commission at no additional cost to you.
*Artikel ini hanya mewakili pendapat pribadi beberapa orang Jepang, bukan pandangan menyeluruh untuk satu negara.
Jarang Berkomunikasi
Agensi periklanan Jepang "My Navi" pernah mewawancarai orang Jepang dewasa dengan beberapa pertanyaan seperti "Sesering apa Anda dan kekasih berkomunikasi melalui LINE?". Meskipun 52.0% pria dan 53.7% wanita menjawab "setiap hari", 18.4% pria dan 13.5% wanita berpikir 2-3 kali per minggu sudah cukup. Orang Jepang dikenal sangat serius dalam bekerja. Mereka berusaha menahan diri untuk tidak memeriksa ponsel selama jam kerja di kantor, jadi boro-boro sengaja menunggu pesan atau membalas sesegera mungkin. Bahkan, umumnya mereka sering tidak langsung membalas meski telah membaca pesan.
Ruang pribadi sangat dihargai di Jepang. Berbeda dari di Barat, pasangan Jepang cenderung jarang melakukan percakapan di telepon dan panggilan video. Rasa khawatir mengganggu orang lain sudah mendarah daging dalam budaya mereka, dan pasangan Jepang lebih suka tidak menceritakan setiap detail kecil dalam kehidupan sehari-hari mereka satu sama lain. Sampai-sampai, di saat genting pun mereka masih mengirim pesan teks terlebih dahulu kepada pasangan untuk memastikan apakah mereka dapat mengangkat telepon. Orang Jepang juga jarang menelepon tanpa pemberitahuan.
Orang asing menyebut kondisi semacam ini sebagai "MIA" (Missing in Action). Namun, bagi orang Jepang, menjaga jarak adalah cara untuk menjalin hubungan jangka panjang.
Tidak Sering Berkencan
Istilah "malam minggu" tidak ada di Jepang. Selain frekuensi komunikasi yang relatif rendah, pasangan Jepang juga jarang berkencan. Salah satu alasan yang melatarbelakanginya adalah biaya tranportasi yang tinggi untuk mereka yang tinggal berjauhan atau beda kota. Namun, pasangan yang tinggal di satu kota pun tidak sering bertemu! Sudah merupakan norma bagi mereka untuk bertemu sekali atau dua kali seminggu (kecuali mereka sekantor atau satu sekolah/universitas).
Jangan salah persepsi. Pasangan Jepang bukan tidak suka berkencan. Mereka justru memberikan penekanan pada "me time" dan mempertahankan cara hidup mereka sendiri. Bertolak belakang dengan orang asing yang ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama pasangannya, orang Jepang memilih fokus pada pekerjaan ketika tidak ada jadwal kencan, atau mereka akan mempersiapkan diri untuk kencan berikutnya. Pasangan Jepang berusaha untuk menjadi diri mereka yang terbaik dan melakukan hal-hal yang dapat dinikmati berdua saat berkencan. Singkatnya, pergi ke salon, berbelanja, atau kegiatan yang bisa dilakukan sendiri tanpa ditemani bukan bagian dari rencana kencan. Hal ini jelas kebalikan dari Indonesia, yang sering meminta sang kekasih menemani mereka berbelanja atau ke salon.
Dengan pemikiran seperti itu, pasangan Jepang tidak harus memaksakan diri pergi ke tempat atau melakukan sesuatu yang tidak mereka minati. Jadi, kedua belah pihak dapat menikmati waktu kencan sepenuhnya. Mungkin inilah salah satu keuntungan punya pacar orang Jepang!
Tidak Lazim Bertemu di Rumah
Menjemput pasangan untuk pergi ke atau dari kantor, menunggu mereka sebelum pergi kencan, dan mengantar pulang ke rumah setelahnya sudah menjadi hal yang umum dilakukan, tetapi belum tentu demikian di Jepang.
Jika masih dalam proses pendekatan atau tahap awal pacaran, atau pasangan kekasih masih berstatus pelajar, mereka akan mengantar sampai di depan rumah setelah kencan. Begitu pula dengan pasangan yang tinggal berdekatan. Selain itu, mereka yang memiliki mobil juga diharapkan mengantar kekasihnya pulang ke rumah jika tinggal di daerah pedesaan. Namun, tidak demikian di Tokyo. Sebagian besar orang akan memilih bertemu di stasiun atau langsung di tempat tujuan. Mereka jarang menjemput pasangan ke rumah atau mengantarnya kembali usai pergi kencan, yang kemudian menginspirasi adegan di anime dan drama Jepang yang menunjukkan sepasang kekasih enggan mengucapkan selamat tinggal di stasiun. Perilaku ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa Jepang adalah negara yang aman. Ditambah lagi, perjalanan bolak-balik dapat memakan waktu lebih dari satu jam di Tokyo. Kesimpulannya, tidak menjemput atau mengantar pasangan lebih merupakan suatu kepraktisan.
Lebih Menyukai "Couple Time" daripada Bertemu dengan Banyak Orang
Pemikiran "temanmu adalah temanku" di luar negeri tidak berlaku sama seperti di Jepang. Meskipun pasangan Jepang Anda memperkenalkan teman-temannya kepada Anda, kumpul bersama sudah beda cerita. "Double Date" pun bukan hal yang umum karena orang Jepang sangat memedulikan pendapat orang lain. Misalnya, jika beberapa orang membawa serta pasangan mereka, tetapi tidak saling mengenal, suasana dapat berubah menjadi canggung.
Terlepas dari gender, orang Jepang cenderung tertutup. Mereka berpikir lebih baik memikirkan urusan sendiri dan menjaga jarak dari orang lain. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk berteman, bahkan setelah beberapa kali makan dan jalan-jalan bersama. Tanpa usaha membuka hati satu sama lain, persahabatan tidak mudah dibangun.
Mengenal teman sendiri saja perlu waktu, apalagi teman-teman kekasih. Kecuali semua pihak saling mengenal, "double date" mungkin tidak akan berjalan lancar.
Tidak Suka Pamer Kemesraan di Depan Umum
Mementingkan privasi mendorong pasangan Jepang untuk tidak mengumumkan hubungan mereka sejak awal, atau memasang foto satu sama lain sebagai wallpaper handphone. Bagi mereka, proses adalah kunci. Sebelum yakin hubungan mereka benar-benar stabil, orang Jepang tidak akan menunjukkan kemesraan di media sosial.
Pentingnya sopan santun dan tidak menyusahkan orang lain telah ditanamkan pada orang Jepang sejak usia dini. Jadi, menunjukkan kemesraan di depan umum dianggap tidak beretika. Contoh lain adalah tato. Kaum muda tidak terlalu ambil pusing, tetapi generasi yang lebih tua masih berjuang untuk menerimanya. Pendek kata, negara ini sangat menjunjung tinggi estetika.
Mayoritas orang di Jepang memedulikan penilaian orang lain. Mereka berupaya menghindari konflik dengan cara apa pun dan tidak pernah ingin menjadi pusat perhatian. Sama halnya dengan memakai baju couple, mereka merasa malu memakainya karena akan diperhatikan oleh banyak orang. Mungkinkah ini alasan mengapa pasangan Jepang tidak suka pamer kemesraan di depan umum?
Melakukan Perawatan Tubuh
Apakah Anda pernah memperhatikan jumlah reklame "penghilang bulu tubuh" di gerbong kereta selama kunjungan Anda ke Jepang? Selain bulu ketiak, orang Jepang—baik pria maupun wanita—juga peduli dengan bulu di punggung, lengan, garis bikini, betis, wajah, leher, dan jari. Belakangan ini, bahkan ada perawatan untuk rambut hidung dan garis rambut juga!
Lalu, apakah ini berhubungan dengan konsep kecantikan di Jepang? Bagi wanita, menghilangkan bulu tubuh adalah bagian dari proses perawatan. Jika diabaikan, akan memberi kesan berantakan. Namun, konsep tersebut juga bisa dikaitkan dengan pola pikir orang Jepang yang didasarkan pada pendapat mayoritas, "sesuatu yang dianggap baik oleh banyak orang, maka itu pasti baik". Lambat laun, konsep itu menyebar dan menjadi standar umum kecantikan di Jepang.
Memang hanya dugaan, tetapi mungkin saja kepekaan wanita Jepang terhadap bulu tubuh secara tidak langsung memengaruhi pria untuk ikut melakukan perawatan.
Enggan Berbicara "To The Point"
Orang Jepang selalu khawatir akan merepotkan orang lain. Alhasil, mereka tanpa sadar sering berbasa-basi atau enggan menyampaikan maksud mereka. Apa yang diucapkan mungkin kebalikan dari apa yang dipikirkan. Itu karena mereka takut menyakiti perasaan orang lain. Contoh sederhana, orang Jepang mungkin mengatakan "Ayo kapan-kapan makan bersama". Namun, ajakan tersebut hanya sekadar basa-basi karena mereka berusaha bersikap sopan untuk menjaga hubungan baik dengan Anda. Dalam skenario berbeda, Anda mengundang orang Jepang untuk makan di luar, tetapi diabaikan. Biasanya, mereka memilih untuk mengabaikan daripada langsung menolak. Anda tentu sudah bisa menduga alasannya. Ya, mereka tidak mau menyakiti perasaan Anda atau bahkan berniat untuk tidak membangun hubungan lebih dengan Anda. Walaupun pada akhirnya mengabaikan juga bukanlah hal yang baik, dan kemungkinan ada orang yang justru tersinggung.
Orang Jepang diajari untuk mengamati orang-orang di sekitar. Mereka mampu "membaca suasana" dan memiliki kecenderungan untuk berbica bertele-tele agar memberi kesan bahwa mereka orang yang hangat dan lembut. Sifat ini bahkan lebih jelas terlihat ketika mereka berinteraksi dengan "orang asing yang tidak dikenal". Beda hal jika keduanya adalah orang Jepang atau orang asing tersebut sudah dekat dengan mereka. Terlebih lagi, karena orang Jepang sangat sensitif terhadap pandangan orang, Anda mungkin akan jarang melihat pasangan kekasih bertengkar di depan umum. Namun, keinginan menghindari konfrontasi dan tidak segera menyelesaikan masalah dapat berakibat lebih buruk. Banyak orang yang memendam melewati batas kesabaran mereka sendiri hingga amarah memuncak, dan menyebabkan hal-hal yang tidak terduga.
Tidak Dekat dengan Keluarga
Saat hubungan Anda semakin akrab, Anda akan melihat bahwa orang Jepang tidak terlalu dekat dengan keluarga mereka bila dibandingkan orang-orang dari negara lain, kecuali mereka tinggal di kota kelahiran. Kebanyakan kaula muda keluar dari kampung halaman untuk bekerja di kota besar dan tinggal jauh dari rumah. Tiket kereta dan pesawat sangat mahal, jadi mereka tidak pulang ke rumah orang tua setiap akhir pekan, dan bahkan banyak juga yang tidak pulang pada Tahun Baru.
Orang Jepang bukan tidak menghargai dan mencintai keluarga. Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi sangat pemalu dalam hal hubungan dan tidak lagi dekat dengan orang tua. Hubungan antara saudara perempuan atau ibu dan anak perempuan mungkin tidak terlalu terpengaruh dan tetap terjalin meski tinggal berjauhan. Bahkan, hubungan mereka bisa semakin erat seiring bertambahnya usia orang tua. Namun, budaya berpikir berlebihan dan tidak suka dibombardir dengan pertanyaan seperti "Apakah sudah punya pasangan?", "Kapan menikah?", atau "Ibu ingin punya cucu" sering mengecilkan hati orang Jepang usia muda untuk memprioritaskan keluarga.
Cinta Itu Penting, tetapi Tidak Lebih Dari Privasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Jepang sangat mengutamakan privasi. Mereka tidak akan memberi tahu password handphone kepada pasangan, dan mereka enggan mengabari keberadaan satu sama lain. Sebagian besar orang bahkan tidak tahu berapa pendapatan pasangan mereka sebelum menikah!
Setelah berbicara dengan penduduk setempat, kami mencapai kesimpulan berikut: orang Jepang tidak terbiasa berbagi, jadi tidak perlu memberi tahu apa pun. Tentu saja, ada orang yang bersedia membuka diri terhadap pasangannya, tetapi kebanyakan lebih menghargai privasi mereka. Ingatlah, rasa hormat dan kepercayaan adalah kunci untuk menjaga hubungan, dan kebangsaan pada akhirnya bukan suatu masalah.
Jika Anda ingin memberikan komentar pada salah satu artikel kami, memiliki ide untuk pembahasan yang ingin Anda baca, atau memiliki pertanyaan mengenai Jepang, hubungi kami di Facebook!
The information in this article is accurate at the time of publication.